Pages

Rabu, 20 November 2013

MBah Samsuri, Seniman “Kentrung” Demak

Rekor penonton seni kentrung pecah tahun 2008, saat Mochammad Samsuri manggung tunggal di pentas Demak Art Festival di Tembiring, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Ketika itu ribuan penonton asyik menyimak gaya Samsuri bertutur tentang Syaridin alias Sheikh Jangkung. Alkisah, Sheikh Jangkung lahir di Desa Landoh, Tayu, Pati. Sheikh Jangkung diperkirakan hidup semasa Sunan Muria atau Raden Umar Said menjadi penyebar agama Islam. Dia punya karomah yang disegani pada zamannya. Dia menyebarkan Islam hingga ke Sumatera.
Atas partisipasi menggelar seni tutur di Demak Art Festival 2008, Samsuri memperoleh penghargaan sebagai pelestari kebudayaan, terutama sebagai tokoh kentrung. Samsuri menjadi satu-satunya seniman kentrung yang bertahan di pantai utara-timur Jawa Tengah, meskipun dia sudah uzur.
Penghargaan dari Dewan Kesenian Demak itu diletakkannya di atas lemari tua di ruang tamu rumahnya di Kelurahan Bintoro, Kabupaten Demak.
”Ini rumah almarhum bapak saya, Ahmad Pudjo Prayitno, yang juga seniman kentrung. Saya ini seperti dijebak nasib. Wong waktu masih kelas V sekolah rakyat sudah sering menggantikan peran bapak kalau berhalangan,” katanya.
Cerita rakyat Syaridin itu menjadi favoritnya. Hampir 30 tahun cerita Syaridin menjadi legenda tersendiri bagi Samsuri yang seakan tanpa lelah menuturkannya kepada masyarakat lewat pentas kentrung. Ada tiga nilai utama dalam cerita itu, yakni tentang kebenaran, kepasrahan, dan kejujuran.
Konon Syaridin termasuk orang sakti. Ia naik pohon kelapa, lalu menjatuhkan diri ke tanah dan tak mati. Kalau kini Indonesia disibukkan aksi teroris, kata Samsuri, seni tutur seperti kentrung bisa dipakai untuk meredam terorisme. Dia bisa merekayasa cerita dengan tetap mengacu kepada Syaridin. Sosok yang menyebarkan Islam secara damai itu.
Suguhan langka
Sebagai seniman kentrung, Samsuri kini tengah prihatin. Tradisi lisan kentrung sudah jauh ditinggalkan masyarakat. Di pesisir pantura Jawa Tengah, kentrung menjadi suguhan langka. ”Bisa juga karena perekonomian rakyat lagi surut. Memanggil saya untuk pentas memang tak murah,” ucapnya.
Tahun 1959 tiap kali pentas dia dibayar Rp 500 yang ketika itu relatif bernilai, dan ditonton ribuan orang di pedesaan. Kini honornya pentas selama empat jam di kampung di Demak sebesar Rp 450.000. Jika dipanggil ke kota lain di Jawa Tengah, honornya Rp 600.000 hingga Rp 800.00 dan di Jakarta lebih dari Rp 1 juta.
Terlepas dari besarnya honor itu, kisah Samsuri mempertahankan kentrung pun mengalami pasang-surut. Sebelum 2004 tawaran naik panggungnya relatif ramai. ”Saya sampai tak tidur di rumah. Sehari main di Solo (Studio RRI Solo), berlanjut main di Yogyakarta.”
Namun, ketenaran kentrung makin redup seiring meninggalnya satu demi satu seniman kentrung seangkatan Samsuri. ”Saya seperti ditinggal sendiri, seolah disuruh main seni tutur kentrung sendirian.”
Untuk menularkan ilmu kentrung pun tak mudah. Samsuri pernah mengajari kedua anak lelakinya. Namun, keduanya kemudian justru memilih bekerja biasa daripada menjadi dalang seni tutur kentrung. Ia tak bisa memaksa mereka.
Samsuri lalu bercerita, saat almarhum ayahnya sakit-sakitan sebelum meninggal tahun 1967, dia dipercaya meneruskan laku seni tutur itu. Ia pun rajin menyerap ilmu kentrung lewat penceritaan langsung dari sang ayah.
Maka, dia hafal dan bisa berimprovisasi bukan hanya tentang sosok Kiai Syaridin, melainkan juga Sunan Kalijaga. ”Kisah para kiai itu membangkitkan kebanggaan masyarakat,” kata Samsuri yang rumahnya tak jauh dari makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak.
Meski begitu, Samsuri pun piawai membawakan cerita rakyat lainnya, seperti legenda Baruklinthing, Raja Angling Dharma, Sunan Gunungjati, Sunan Muria, Sunan Brayat, Kiai Ageng Pandanaran, Marmaya Ngentrung, Nabi Yusuf, dan kisah Babad Tanah Jawi.
”Saya bertutur dalam bahasa Jawa, sesekali diselipi bahasa Indonesia. Penonton suka karena mereka butuh hiburan dari kisah para tokoh masa lalu yang punya kedigdayaan. Mereka juga merindukan sosok teladan,” katanya.
Untuk Agustus-an
Meski mendapat penghargaan, Samsuri justru merasa mulai ditinggalkan pemerintah ataupun masyarakat sejak tahun 2004. Rasa itu muncul seiring dengan semakin sedikitnya tawaran bermain kentrung di berbagai kesempatan.
”Belakangan ini, kalau dapat tawaran tiga kali dalam sebulan saja, sudah bagus,” ujarnya.
Apalagi setahun belakangan ini, tawaran pentas kentrung yang diterimanya bisa dihitung dengan jari. ”Tawaran paling ramai hanya pada bulan Agustus. Ada saja panitia perayaan Ulang Tahun Kemerdekaan (Indonesia) yang meminta saya pentas, bercerita tentang kepahlawanan para pejuang melawan Belanda.”
Bahkan, permintaan pentas dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta Dinas Pendidikan di Kabupaten Demak pun sepi. Padahal, dulu dia sempat diajak dinas pendidikan berpentas keliling sekolah-sekolah.
”Saya diminta untuk mengajarkan budi pekerti dan semangat kebenaran lewat kisah-kisah dalam seni tutur kentrung,” ujar Samsuri, yang juga sempat diajak dinas pariwisata berpentas di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Meski sudah rusak, Samsuri masih menggunakan rebana warisan sang ayah saat pentas kentrung. Dia memainkan rebana (terbangan) dengan tiga ukuran, yakni ketipung (rebana kecil), kemplang (sedang), dan rebana jedur (besar). Terkadang ia meminjam rebana milik masjid di kampungnya.
”Saya tak punya uang untuk membeli rebana baru. Tiga rebana baru harganya sampai Rp 650.000,” kata Samsuri yang masih setia memenuhi panggilan pentas kentrung untuk hajatan khitanan, mantenan (pernikahan), pupak puser (puputan), selapanan bayi, thedak siti, syukuran bayi berusia sembilan bulan, sampai perayaan Hari Kemerdekaan RI di pabrik rokok.
Bagaimanapun kondisinya, Samsuri bertekad melestarikan seni tutur kentrung hingga akhir hayatnya. Dia rindu memiliki murid yang meneruskan kentrung. Samsuri bersedia melatih siapa pun yang mau belajar kentrung dengan sungguh-sungguh.
”Jangan biarkan seni kentrung (sering juga disebut kentrungan) punah. Kentrung itu salah satu warisan budaya Jawa yang sekarang di ambang senja,” ujarnya lirih.
Data Diri
• Nama: Mochammad Samsuri • Lahir: Bintoro, Demak, Jawa Tengah, 1949 • Pendidikan: Sekolah rakyat kelas V • Istri: Surilah • Anak: 1. Djumadi (40) 2. Suparlan (37) 3. Tuminah (35) • Profesi: seniman kentrung
Sumber: Jumat, 4 September 2009 | 01:46 WIB KOMPAS/WINARTO HERUSANSONO&Mochammad Samsuri

Minggu, 10 November 2013

SENI KOMPAS UNISFAT


Art lover di pengunjung tahun 2013 insyaallah akan mencoba mengisi serangkaian acara di demak, rencana kami akan mengadakan kegiatan " gerakan demak membatik " & mencoba membuat rekor muri dengan 
 menampilkan " TARI KIPAS SERIBU PEMUDA ".
* sahabat - sahabat mohon dukungannya yaaaa.....*

Rabu, 30 Oktober 2013

SENI BATIK KHAS DEMAK KOTA WALI

BATIK KARANG MLATI


Batik Demak dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : Batik Tulis, Batik Cap dan Batik Cap Tulius

Sementara motif batik yang diproduksi oleh Klaster batik sisik khas Demak adalah:

· Sumping prau
· Satwa laut
· Pelatuk semanggi
· Menoro Demak
· Kawung joglo
· Bunga truntum
· Sekar wahyu bintoro
· Ulam segaran
· Sekar jagat demak
· Taman segaran
· Anggur godong semongko
· Semongko tegalan
· Belimbing dan jambu
· Pantai
· Tribuna
· Masjid demak
· Cupit urang
· Lancur
· Lele bersisik
· Tigo rangsih
· Karangmlati
· Cokro
 
 

BATIK KHAS KADILANGU




Batik yang menjadi ikon Indonesia ternyata tidak hanya di Pekalongan dan Solo saja. Seiring berjalannya waktu di setiap daerah sekarang ini banyak yang membuat batik dengan khas daerah masing-masing. Contohnya saja di Kabupaten Demak, ada beberapa jenis batik, yaitu batik Demak dan batik Demak khas Kadilangu. Batik Demak berbeda dengan batik Demak khas Kadilangu, baik dari motif dan juga sejarah adanya batik tersebut.
Berbicara tentang batik, Apakah Anda mengetahui apa itu batik? Kata batik diambil dari kata “ambatik”, yaitu kata “amba” (bahasa jawa) yang berarti menulis dan “tik” yang berarti titik kecil, tetesan, atau membuat titik. Jadi, batik adalah menulis atau melukis titik. Secara umum, membatik adalah sebuah teknik menahan warna dengan lilin malam secara berulang-ulang di atas kain. Lilin malam digunakan sebagai penahan untuk mencegah agar warna tidak menyerap ke dalam serat kain di bagian-bagian yang dikehendaki.
Batik merupakan lukisan di atas kain yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan pakaian. Pada awalnya, batik hanya dikenal oleh kalangan keraton. Batik terdiri dari berbagai motif dan setiap motif merupakan simbol bagi pemakainya, seperti motif-motif parang dan kawung yang hanya boleh dikenakan oleh keluarga kerajaan. Pada perkembangannya, batik menyebar ke kalangan masyarakat umum.
Sumber : http://batikcrb.blogspot.com
Sejarah Batik Kadilangu
Dengan dicanangkannya Visit Jateng 2012, pemerintah Kabupaten Demak merencanakan akan dibuat batik Demak khas Kadilangu sebagai ikonnya. Selain sebagai ikon Visit Jateng, juga sebagai oleh-oleh bagi wisatawan atau peziarah yang berkunjung ke Desa wisata Kadilangu. Untuk merealisasikan rencana tersebut, pemerintah menunjuk kelurahan Kadilangu untuk diadakan pelatihan batik khas Demak pada awal 2011.
Dengan adanya pelatihan tersebut, salah satu peserta yang berhasil mengembangkan batik khas kadilangu adalah Ulfa (21) Mahasiswi UNTAG semester 6 jurusan Hukum, juga menggeluti sebagai penyiar radio di Suara Kota Wali, Demak.  Mulai berkarya batik dengan ayahnya yang awalnya hanya iseng mengikuti pelatihan untuk mengisi waktu liburan kuliah. Kemudian ayahnya juga tertarik untuk ikut dan mengembangkan bisnis batik khas Demak. Pengembangan batik khas Demak, khususnya kadilangu untuk oleh-oleh para wisatawan dan peziarah makam Walisanga di Kadilangu. Karena selama ini belum ada oleh-oleh khas kadilangu Demak dan untuk mengingatkan orang-orang dengan Kadilangu tumbuhan pace dan kemuning dituangkan dalam corak batik Kedilangu karena di makam banyak tumbuh kemuning dan pace.
Motif batik tersebut terinspirasi dari makanan khas pada jaman sunan Kalijaga yaitu Caos Dhahar. Caos Dhahar adalah nasi tumpeng, namun isinya terdiri dari ingkung, lele, ayam bakar, dan daun pace yang dibuat trancak mirip seperti rawon. Ada juga motif daun pace, cening (bunga kemuning yang digabung dengan daun pace), dan Loro Gendhing. Motif buat sendiri berdasarkan HAKI ada 4 yaitu sisik, jambu air, blimbing, dan ornamen yang ada di Masjid Agung Demak sudah di HAKI oleh Disperindag.
Setelah selesai pelatihan mereka  mendapat bantuan dari pemerintah untuk mengembangkan sendiri akhirnya mereka membeli bahan-bahan dan  produksi sendiri seperti sekarang. Mereka sudah mempu yai showroom, letakya tidak jauh dari makam sunan Kalijaga, tepatnya di depan kelurahan Kadilangu.
Selain batik Ulfa membuat oleh-oleh khas Kadilangu yang lain berupa manik-manik seperti gantungan kunci, kalung yang berbentuk pace sehingga masyarakat menengah ke bawah juga dapat membeli oleh-oleh khas Kadilangu. Harga kain batik disini mulai Rp.100.000,- sampai Rp. 1.500.000,- Bergantung warna dan proses pembuatan. Untuk ukuran mereka hanya membuat 2.10 m, ukuran itu dipilih karena mereka mengantisipasi pembeli yang mempunyai badan besar. Yang berbadan kecil atau kurus jangan takut kain batiknya tersisa, karena bisa dibuat gamis untuk yang perempuan.
Cara Pembuatan Batik
Saat kami observasi, para pekerja sedang libur oleh karena itu kami tidak dapat melihat langsung proses pembuatan batik tersebut. Tetapi narasumber yakni Ulfa  menerangkan proses pembuatannya. Langkah-langkahnya yaitu:
1.      Pemotongan bahan baku (kain) sesuai ukuran yang digunakan.
2.      Mengetel : Menghilangkan kanji dari kain dengan cara membasahi kain tersebut dengan larutan : minyak kacang, soda abu, tipol dan air secukupnya. Lalu kain diuleni setelah rata dijemur sampai kering lalu diuleni lagi dan dijemur kembali.
3.      Nglengreng : Menggambar langsung pada kain.
4.       Isen-isen : Memberi variasi pada ornamen (motif) yang telah di lengreng
5.      Nembok : Menutup (ngeblok) bagian dasar kain yang tidak perlu diwarnai.
6.      Ngobat : Mewarnai batik yang sudah ditembok dengan cara dicelupkan pada larutan zat warna.
7.      Nglorod : Menghilangkan lilin dengan cara direbus dalam air mendidih (finishing).
8.      Pencucian : Setelah lilin lepas dari kain, lalu dicuci sampai bersih  kemudian dijemur
Pembuatan bergantung cuaca dan pewarnaan apabila warna yang diinginkan banyak, maka proses pembuatan juga akan lama.
Pemasaran
            Pada awalnya pemasaran dilakukan secara lisan yaitu dari mulut ke mulut. Namun setelah adanya Visit Jateng 2012, ada wartawan koran Suara Merdeka datang untuk mengangkat ikon yang ada di Kabupaten Demak. Jadi batik Demak khas Kadilangu dapat dipublikasikan. Kecamatan Dempet juga membeli batik Demak khas Kadilangu untuk seragam oleh istri para Lurah, dipakai pada saat Karnaval yang dilaksakan pada tanggal 7 April 2013. Hal tersebut ditujukan untuk memperkenalkan batik Demak khas Kadilangu.
            Selain itu, pemasaran juga dilakukan dengan mengikuti bazar dan expo diberbagai daerah, misalnya di Pekalongan, Solo dan Jakarta. Sebenarnya batik ini sudah ada permintaan untuk ekspor, namun kendalanya ada pada pegawai yang sulit diajak untuk berkembang. Mereka hanya bekerja saat membutuhkan uang, tidak setiap hari memproduksi. Jika ada pesanan, pemroduksi pun tidak dapat menentukan kapan waktu pembuatan selesai.
Gambar Batik
foto: Wisnu DK
                

foto: Wisnu DK

foto: Wisnu DK

foto: Wisnu DK

foto: Wisnu DK

Shofi, Ulfa (narasumber), Rida, Wisnu