- A. Pendahuluan
Psikologi Islam sebagai sebuah kajian
ilmu yang baru dikembangkan di awal tahun 60an belum banyak orang
mengenal, jika dibandingkan dengan psikologi barat yang usianya telah
berabad-abad. Sebagai disiplin ilmu baru, Psikologi Islam lahir sebagai
antitesis terhadap berbagai madzab psikologi modern. Dalam wataknya yang
terbuka saat ini, disiplin ilmu psikologi modern harus meredefinisi
dirinya, sehingga Psikologi Islam bisa menjadi salah satu alternatif
yang dapat ditawarkan. Meskipun Psikologi barat berfokus pada ego
sebagai subjek dan objek yang menjadi landasan sentral paham hedonisme
dan individualisme barat, sedangkan psikologi Islam mendasarkan pada
spiritualisme, namun keduanya memiliki titik singgung yang sama yaitu
manusia sebagai objek kajiannya.
Dalam psikologi barat, psikologi bekerja
untuk mengurai tingkah laku, memprediksi, mengendalikan tingkah laku
yang bersifat horisontal dan banyak berbicara pada perilaku yang nampak.
Sementara psikologi Islam banyak berbicara pada pengubahan perilaku
menjadi lebih baik dan bagaimana lebih dekat kepada Tuhan serta
mengembangkan potensi kemanusiaan yang dimiliki. Hal ini merupakan 2
(dua) paradigma yang berlainan tetapi dapat disatukan dalam sebuah
perbincangan dan pertemuan bangunan keilmuan yang utuh.
Meskipun baju psikologi barat nampak
bolong di sana sini, kiprahnya hingga saat ini tetap dominan dan
populer. Karena kekokohan dan popularitasnya banyak psikolog yang
berbasis psikologi barat tidak mau mengakui kelahiran ”adik” barunya
yakni psikologi Islam. Bahkan oleh sebagian mereka menganggap adik baru
ini sebagai ”anak haram” yang tidak ilmiah. Sebagian mereka nampak tidak
dewasa, cemburu, tidak suka dan khawatir keberadaan sang adik nantinya
akan mengancam eksistensinya. Sebagian yang lain nampak lebih dewasa,
bahkan menaruh harapan baru pada sang adik, psikologi Islam, yang
kelahirannya didambakan oleh banyak orang. Mereka gembira menyambut
kehadirannya dan menerimanya sebagai anggota barudari The big family of
psychology. Sang adik diharapkan dapat menjadi madzab pelengkap dan
alternatif dari madzab yang sudah ada, terutama pada tingkat psikologi
terapan.
- B. Potret Perkembangan Keilmuan Modern
Dalam menguraikan
kembali sebuah ilmu pengetahuan kita harus melihat kembali paradigma
keilmuan yang dibangun melalui jalur filsafat. Ada 3 (tiga) komponen
dalam membangun sebuah ilmu dalam perspektif filsafat yaitu ontologis,
epistimologis dan aksiologis. Semua komponen ini tidak dapat dilepaskan
untuk mencapai tingkat kebenaran dan penerimaan dari sebuah ilmu
pengatahuan.
Namun demikian perjalanan pemikiran
filsafat ilmu dari sebuah keilmuan tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan jaman atau sosiokultural. Paradigma keilmuan mengalami
perkembangan bahkan perdebatan pada tiap jamannya. Sebagai contoh
perdebatan filosofis abad XII antara aliran empirisme Francis Bacon
dengan aliran rasionalisme Rene Descartes. Bacon mengatakan bahwa sains
modern harus bermula pada fakta-fakta empiris yang dapat diamati,
sehingga teori dibuat berdasarkan generalisasi dari fakta-fakta tersebut
(inductive hypothetic). Disatu sisi Descartes mengemukakan
sains harus mendasarkan diri pada pemikiran yang berorientasi pada rasio
(logika) dan menekankan pentingnya peran akal. Meskipun kemudian muncul
paradigma perbauran kedua aliran tersebut oleh Newton dengan ilmu
eksaktanya yang menggabungkan metode hipotetiko deduktif dan
eksperimental induktif. Artinya sains modern bukan sekedar rasional
ataupun empiris melainkan pengetahuan rasional empiris (rasional
objektif).
Psikologi yang telah dinyatakan sebagai
sebuah ilmu pengatahuan tidak lepas dari pengaruh tersebut. Psikologi
bukanlah suatu produk yang statis tetapi terus berkembang dan mengalami
transformasi sesuai dengan adaptasi sosio kultural dan implikasi
filosofis diawal perkembangannya. Diakui atau tidak psikologi
kontemporer yang kini merambah dunia sebagian besar dari peradaban barat
yang berbasis pada paradigma sains eksak dan menekankan aspek empiris
objektif. Kuantifikasi konsep dan konstrak aspek psikologi sangat
menonjol pada era ini, bahkan sampai memenggal setengah dari perilaku
manusia sehingga seakan-akan manusia bukan lagi manusia.
Sejak pertengahan abad XIX, yang
didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer di dunia Barat,
terdapat banyak pengertian mengenai “psikologi” yang ditawarkan oleh
para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan seiring dengan
kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya. Meskipun
demikian, perumusan pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam
tiga pengertian. Pertama lebih bersifat filosofis, dimana
psikologi didefinisikan sebagai studi tentang jiwa (psyche), seperti
studi yang dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.)
tentang kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Pengertian kedua
yang mencoba memisahkan disiplin filsafat dengan psikologi memberikan
definisi psikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental,
seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan.
Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Sedangkan pengertian ketiga
yang mencerminkan psikologi sebagai ilmu yang mandiri mengartikan
psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti
perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan
sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.
Disamping adanya pengaruh aliran filsafat
yang sangat menonjol, perkembangan atau lahirnya sebuah ilmu juga tidak
terlepas dari kondisi sosio kutural para pemikir dan penggagas ilmu
pengatahuan. Secara historis perkembangan ilmu pengatahuan didorong oleh
sistem kapitalis yang dikatakan oleh Sal Restivo sebagai modern science as a social problem
karena kehadirannya sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem feodal
yang justru dapat mengancam kualitas hidup manusia, nilai-nilai
demokrasi dan kelangsungan bumi dan isinya.
Perkembangan ilmu juga berkaitan dengan
berkembangnya madzab dunia yang secara bersamaan melahirkan madzab
sekularisme dan sosialisme sebagai reaksi terhadap dominasi gereja
terhadap kehidupan politik dan penindasan para ilmuwan dan filsuf.
Kasus-kasus Galileo Galilei dan Nicolas Copernicus yang mendapat siksaan
karena temuannya bertentangan dengan ajaran gereja. Begitu pula kasus
Giordano Bruno yang dibakar hidup-hidup karena meyakini bumi mengitari
matahari bukan mengitari mahkota paus.
Psikologi sebagai keilmuan yang
memberikan perhatian terhadap perilaku manusia juga mengalami masa
bumingnya ketika dikaitkan dengan lontaran Charles Darwin tentang teori
evolusi yang menggetarkan dunia. Ia memperkuat gagasan perlunya memahami
manusia dalam perspektif materialistik. Gagasan ini semakin berkembang
dengan makin digunakannya prinsip positivistik dalam memandang manusia
setelah ditinggalkannya fase teologi dan metafisik.
Melihat banyaknya elemen yang
mempengaruhi perkembangan sebuah ilmu termasuk psikologi, maka kita
perlu kembali merenungkan keberadaan ilmu psikologi yang telah
berkembang lebih dari 1 (satu) abad ini. Pertanyaan-pertanyaan yang
mencoba mempertanyakan kembali mainstrem psikologi yang telah berkembang
dari peradaban barat merupakan salah satu bentuk kritik yang mencoba
menempatkan ilmu psikologi dalam jalur yang benar sesuai dengan fungsi
keilmuan untuk kesejahteraan umat manusia.
- C. Latar Belakang Munculnya Psikologi Islam
Wacana psikologi Islam mulai bergaung semenjak tahun 1978 sebagai suatu perbincangan publik berskala Internasional pada International Symposium on Psychology and Islam
di Universitas Riyadl Arab Saudi. Wacana ini merupakan salah satu
bentuk terbukanya wacana global tentang islamisasi ilmu pengetahuan yang
dipelopori oleh Ismail Raji Al-Faruqi, Sayyid Hussein Nasr dan Ziauddin
Sardar. Namun demikian sejak tahun 1950an Muhammad Utsman Najati telah
banyak memberikan ceramah tentang Al-Qur’an dan ilmu jiwa. Dengan
demikian pembahasan tentang psikologi yang dikaitkan dengan Islam telah
merebak bersamaan dengan banyaknya kajian dalam psikologi barat, bukan
hanya sekedar sebuah perilaku ”iri” terhadap perkembangan psikologi
barat yang meninggalkan unsur agama dalam pembahasan manusia.
Secara umum berkembangnya wacana
Psikologi Islam sebagai salah satu ”buah Islamisasi sains” atau
”kebangkitan Islam”, tidak hanya tuntutan dari ilmuwan muslim tetapi
juga merupakan hasil kajian beberapa ilmuwan non muslim. Salah satunya
adalah Erich Fromm yang mengungkapkan bahwa manusia modern menghadapi
suatu ironi dimana mereka berjaya dalam menggapai capaian-capaian
material namun kehidupan mereka dipenuhi keresahan jiwa (rentan terhadap
stress, depresi dan merasa teralienasi). Erich Fromm memberi contoh
makin meningkatkanya angka bunuh diri pada usia lansia di beberapa
negara Eropa dan Amerika. Begitu pula pendapat filosuf Bertrand Russell
yang mengatakan bahwa kemajuan material yang dicapai pada peradaban
modern tidak dibarengi dengan kemajuan di bidang moral-spiritual.
Disamping itu adanya gelombang kritisisme
ilmu pengatahuan modern menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya
wacana psikologi Islam. Gelombang kritik ini diilhami oleh buku The Structure of Scientific Revolution
karya Thomas Kuhn yang mengatakan bahwa gelombang revolusi ilmu
pengetahaun selalu ditandai oleh pergeseran dan penggantian dominasi
ilmu pengetahuan yang berlaku. Paradigma ilmu pengetahuan yang lama akan
digantikan oleh paradigma baru yang lebih mampu menjelaskan tentang
sebuah fenomena. Sebagai contoh aliran strukturalisme (consciousness) oleh Wilhelm Wundt digantikan oleh aliran psikoanalisa (unconsciousness) oleh Sigmund Freud. Aliran ini digantikan oleh behavioristik (stimulus-respon) oleh John B. Watson dan kemudian oleh Humanistik (potensi kemanusiaan) oleh Abraham H. Maslow lalu muncul psikologi transpersonal (potensi spiritual) oleh Anthony Sutich.
Melihat perkembangan paradigma psikologi
barat yang telah dipaparkan diatas, maka tidak menutup kemungkinan
psikologi Islam menjadi paradigma selanjutnya dalam perkembangan ilmu
psikologi. Salah satu alasan yang dapat digunakan adalah bahwa psikologi
Islam menempatkan kembali kedudukan agama dalam kehidupan manusia yang
dalam sejarah perkembangan ilmu saling tarik ulur, menjadi penyempurna
konsep perilaku manusia dan menghadirkan kembali faktor Tuhan
(spiritual) dalam kehidupan manusia serta diyakini mampu menjadi elemen
moral dalam aplikasi ilmu pengetahuan modern sehingga dapat membangun
kembali peradaban manusia.
- D. Kajian Filsafat Ilmu Dalam Psikologi Islam
- 1. Ontologi Psikologi Islam
Mengkaji sebuah keilmuan dalam kategori
filsafat ilmu, kita tidak dapat memisahkan diri dari pembahasan tentang
aspek ontologi. Ontologi adalah aspek dalam filsafat ilmu yang
mempelajari tentang objek yang akan ditelaah oleh ilmu tersebut,
bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut dan bagaimana hubungan antara
objek tersebut dengan daya tangkap manusia sendiri (berpikir, merasa
dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
Kajian ontologi psikologi Islam sama
halnya pada psikologi barat yaitu manusia. Meskipun aspek kajiannya sama
tentang manusia tapi dalam konsepnya memiliki beberapa perbedaan, baik
melalui aliran psikoanalisa, behavioristik maupun humanistik. Perbedaan
pemahaman konsep manusia ini akan mempengaruhi pada penerapan keilmuan
itu sendiri, baik di bidang perkembangan, pendidikan, sosial, klinis
maupun industri.
Psikoanalisa memandang manusia sebagai
sosok makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan (id) dan
sangat ditentukan oleh masa lalunya. Konsep ini dipandang terlalu
menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada dalam diri manusia,
sehingga terkesan pesimistis dalam pengembangan diri manusia. Sementara
aliran behavioristik memandang manusia sebagai sosok makhluk yang
sangat mekanistik karena kelahirannya tidak membawa apapun, sehingga
kehidupannya sangat ditentukan oleh lingkungan atau hasil pengkondisian
lingkungan. Sedangkan aliran humanistik memandang manusia sebagai sosok
yang mempunyai potensi baik dan tidak terbatas, sehingga dipandang
sebagai penentu tunggal yang mampu memainkan peran Tuhan (play-God).
Sementara psikologi transpersonal cenderung melihat pada dimensi
spiritual (pengalaman subjektif transendental) manusia yang mempunyai
kemampuan luar biasa diatas alam kesadaran.
Psikologi Islam hadir dengan menawarkan
pembahasan tentang konsep manusia yang lebih utuh (komprehensif).
Manusia tidak hanya dikendalikan oleh masa lalu tetapi juga mampu
merancang masa depan. Manusia tidak hanya dikendalikan lingkungan tetapi
juga mampu mengendalikan lingkungan. Manusia memiliki potensi baik
tetapi juga potensi buruk (terbatas). Konsep manusia dalam psikologi
Islam adalah bio-sosio-psikis-spiritual, artinya Islam mengakui
keterbatasan aspek biologis (fisiologis), mengakui peran serta
lingkungan (sosiokultural), mengakui keunggulan potensi dan juga
memerankan aspek spiritual (Tuhan) dalam kehidupan manusia.
Manusia mempunyai 2 (dua) unsur yaitu
jasmaniah (materi) dan rohaniah (non materi) yang secara umum dapat
dijelaskan melalui konsep bio-sosio-psikis-spiritual yang dalam
perkembangan psikologi barat tidak diakui keberadaannya. Perilaku
manusia terbentuk oleh hasil kolaborasi semua unsur, tidak ada reduksi
antar unsur sehingga pemahaman tentang manusia dapat menemukan titik
temu yang utuh.
Islam menawarkan konsep manusia melalui
pemahaman agama (wahyu Tuhan). Memahami manusia tidak dapat dilepaskan
dari konsep ruh (daya ikat pencipta dan makhluknya), hati (qalbu)
sebagai pengendali perilaku manusia, nafs yang menjadi wadah potensi
manusia (baik-buruk) serta akal sebagai tempat nalar dan daya pemahaman
tentang pilihan perilaku. Memahami manusia tidak hanya terbatas pada observable area tetapi juga yang unobservable area dan unconceivable area (tidak dapat dipikirkan atau dirasakan).
Apabila dilihat dari konteks
pemahamannya, maka dapat dikatakan konsep unsur-unsur dalam diri manusia
sangatlah abstrak seperi halnya konsep id-ego-super ego milik Freud dan
archetyp-archetyp milik Carl Gustav Jung, sehingga tidak perlu
diperdebatkan dalam kajian psikologi. Keberanian menawarkan konsep lain
yang sejalan dengan pembahasan perilaku manusia merupakan entry point dalam membangun pondasi keilmuan yang baru.
Konsep unsur manusia dalam Islam diambil
dari wahyu Tuhan tidak dapat diragukan kebenarannya. Tuhan adalah
pencipta manusia yang tentunya sangat mengetahui hasil ciptaannya,
sehingga acuan yang paling tepat untuk memahami manusia adalah dari
kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan meskipun dalam aplikasinya
terdapat pola penafsiran yang berbeda.
- 2. Epistemologi Psikologi Islam
Kajian epistemologi menekankan pada
proses atau prosedur timbulnya ilmu pengatahuan, hal-hal yang harus
diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar dan cara yang
digunakan untuk membantu mendapatkan pengetahuan. Epistemologi merupakan
satu-satunya jalur untuk melihat metode pencarian kebenaran dari sebuah
ilmu pengetahuan. Kesalahan dalam menentukan metode akan menurunkan
kualitas keilmuan tersebut sehingga hasil dari pencarian kebenaran akan
banyak menyisakan pertanyaan-pertanyaan.
Secara epistemologi perkembangan
psikologi barat bermula dari pengembangan metode ilmiah ilmu eksakta,
sehingga hasil keilmuannya bermuara pada pengukuran
kuantitatif-eksperimen untuk menjamin objektifitas. Perkembangan
keilmuan yang sedemikian rupa merupakan efek dari penerimaan ilmu
eksakta yang melebihi penghargaan dari ilmu sosial, sehingga para ilmuan
sosial berbondong-bondong mengadopsi metode ilmiah eksakta untuk
dipergunakan pada ilmu sosial termasuk psikologi.
Apabila ditelusuri keberadaan
aliran-aliran dalam psikologi barat, maka dapat ditemukan bahwa konsep
dasar aliran psikologi memiliki beberapa variasi dalam membangun
keilmuannya meskipun tetap memiliki paradigma yang hampir sama. Freud
mempergunakan pengalaman menangani pasien pada klinik neurologinya untuk
membangun teori psikoanalisa. Bahkan tidak jarang mempergunakan pasien
yang telah mengalami gangguan psikologis untuk digeneralisasikan pada
orang-orang normal. Pavlov mencoba mempergunakan eksperimen binatang
untuk menerangkan perilaku manusia pada aliran behavioristik, sehingga
memunculkan spekulasi teori psikologi yang sangat mekanistik. Humanistik
hadir untuk memberikan tempat yang lebih layak pada potensi dasar
manusia dengan teori hirarki kebutuhan Maslow yang ternyata tidak mampu
pula menjelaskan fenomena mati syahid para revolusi Iran.
Karakteristik bangunan teori yang telah dimiliki oleh psikologi barat dengan segala metode (caranya) cenderung over estimate atau mungkin over confidance
untuk menjelaskan perilaku manusia yang memiliki keunikan
masing-masing, sehingga pada perkembangan mutakhir memunculkan sebuah
pemikiran baru dalam bidang psikologi yang dikenal dengan Indigenous Psychology atau Cross Culture Psychology yang memberikan wacana tentang aspek budaya dan karakteristik budaya lokal dalam pembentukan perilaku manusia.
Disamping itu bangunan ilmu psikologi
juga sulit menjangkau permasalahan-permasalahan yang bersifat kejiwaan
karena telah mendefinisikan dirinya dalam ilmu perilaku. Fenomena santet
atau sejenisnya di beberapa wilayah di dunia tidak dapat terjelaskan
dengan baik karena metode keilmuannya membatasi diri pada hal-hal yang
nampak saja. Penerapan nilai-nilai ketimuran pada beberapa negara tidak
dapat diurai dengan baik oleh psikologi barat. Hal ini menunjukkan
adanya kerapuhan pada landasan berpikir yang dimulai dari pencarian ilmu
melalui metode yang digunakan.
Psikologi Islam menawarkan konsep tentang
perluasan bidang kajian dan metode yang dipergunakan untuk mencari
kebenaran meskipun tetap berlandaskan pada wahyu Tuhan (agama). Metode
pencarian kebenaran tidak hanya mempergunakan indra yang memiliki banyak
keterbatasan, tetapi juga mempergunakan potensi non-indrawi yang
berwujud intuisi yang nilai kebenarannya sama-sama relatif dan wahyu
yang kebenarannya tak terbantahkan.
Metode ilmiah dalam membangun teori
psikologi tetap dipergunakan untuk memberikan peluang potensi inderawi,
misalnya dengan penelitian eksperimen, uji teori dengan menggunakan
logika ilmiah (rasionalisasi). Metode yang lain yang juga perlu mendapat
tempat adalah intuisi untuk memahami realitas empirik dan non-empirik
yang tidak dapat dijangkau oleh indra dan akal pikiran. Metode intuisi
mempergunakan potensi hati (qalbu) sebagai alat menjawab permasalahan
yang terjadi dan merupakan metode penyempurna dari keterbatasan rasio.
Fritjof Schuon mengatakan bahwa rasionalisme itu keliru bukan karena ia
berupaya untuk mengekspresikan realitas secara rasional sejauh itu
memungkinkan, tetapi karena ia berupaya merangkul seluruh realitas ke
dalam alam rasio.
Disamping itu metode keyakinan dan
otoritas juga bisa digunakan untuk membangun sebuah teori dalam ilmu
psikologi. Hal ini merupakan salah satu aspek pemahaman dan ketundukan
terhadap kebenaran kitab suci sebagai wahyu dari pencipta manusia serta
pengakuan kita terhadap orang-orang yang memiliki kemampuan dalam
menafsirkan ilmu psikologi melalui ilmu agama. Kedua metode ini perlu
mendapat pengakuan untuk mengembangkan teori psikologi yang mencoba
memahami manusia secara lebih komprehensif baik dari aspek materi maupun
non materi.
Keberadaan metode-metode tersebut untuk
membangun teori psikologi Islam membutuhkan kesepakatan dari penggagas
ilmu psikologi Islam dan tidak membutuhkan persetujuan dari ilmuwan non
Islam. Hal ini juga telah berlaku untuk pembangunan metode ilmiah bidang
psikologi yang senantiasa memperhatikan aspek objektifitas dan empirik
meskipun banyak perilaku manusia yang mulai tidak dapat didekati hanya
pada pendekatan empiris. Jika kesepakatan tentang objektifitas
berdasarkan metode tersebut telah dicapai maka psikologi Islam tidak
lagi menjadi pseudo ilmiah tetapi sudah menjadi ilmiah bahkan bisa
mencapai supra ilmiah karena persyaratan ilmiah telah terpenuhi.
- 3. Aksiologi Psikologi Islam
Aksiologi merupakan bagian dari
sistematika filsafat ilmu yang berupa mencari tahu kegunaan ilmu
tersebut, cara penggunaan dengan kaidah moral, penentuan obyek yang
ditelaah berdasarkan pilihan moral dan prosedur operasionalisasi metode
ilmiah dengan norma-norma moral.
Keberadaan sebuah ilmu adalah untuk
memberikan kemudahan dan meningkatkan taraf hidup umat manusia. Bahkan
para ilmuwan barat mengungkapkan bahwa pada dasarnya ilmu itu netral
nilai (etik), sehingga kegunaannya sangat tergantung dari pengguna ilmu.
Begitu pula metode yang digunakan untuk membangun teori juga netral
etik yang memungkinkan ilmuwan dapat membangun teori berdasarkan metode
atau caranya sendiri-sendiri tanpa memperhatikan etika. Maslow
mengingatkan bahwa sains akan menjadi busuk ketika mencampakkan nilai
karena sains yang netral nilai akan dapat menjadi alat yang dapat
dipergunakan oleh siapapun dan untuk tujuan apapun.
Psikologi barat telah memberikan banyak
manfaat bagi masyarakat dalam memecahkan permasalahan hidup. Konsep dan
aplikasi ilmu psikologi telah banyak digunakan oleh masyarakat dan
menjadi jalan kemudahan dalam menjalani kehidupan khususnya berkitan
dengan perilaku manusia. Meskipun dalam perkembangannya banyak
masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan atau dijelaskan melalui
teori-teori psikologi barat. Hal ini dikarenakan konsep tentang manusia
yang digunakan justru sering menempatkan manusia pada sisi negatif dan
tidak menguntungkan, sehingga aplikasi keilmuannya menjauhkan manusia
dari kesejahteraan dan kemajuan sesuai dengan tujuannya.
Sebuah contoh yang dapat diambil adalah
kasus meningkatnya angka bunuh diri para lansia (manusia lanjut usia) di
Eropa dan Amerika meskipun mereka telah diberi penghidupan yang layak
dan diberi pelayanan yang optimal oleh para ahli psikologi dan
kedokteran. Hal ini banyak disebabkan karena kesalahan dalam memahami
konsep manusia yang berakibat kesalahan memberikan intervensi atau
treatment psikologi. Begitu pula penjelasan tentang perilaku teroris
atau pendaftaran mati syahid juga tidak mampu dijawab oleh psikologi
barat yang tidak memahami aspek batiniah atau spiritual manusia.
Psikologi sebagai sebuah ilmu mempunyai
fungsi dalam memaparkan, menjelaskan, mengontrol dan memprediksi sebuah
perilaku. Psikologi Islam dengan bangunan teori yang ada dapat melakukan
fungsi tersebut dengan tetap mengkaitkan dengan nilai-nilai yang
dipegang yaitu nilai agama. Psikologi Islam dapat merangsang pertumbuhan
kesadaran untuk meningkatkan kualitas diri yang lebih sempurna baik
secara materi maupun non materi. Psikologi Islam dapat mengarahkan pada
terbentuknya kualitas hidup yang membawa pada kebahagian diri dan
kelompok untuk kehidupan masa kini dan esok.
Psikologi Islam mempunyai potensi untuk
menjawab permasalahan umat yang lebih komprehensif dibandingkan
psikologi barat karena konsep manusia lebih terintegrasi. Bahkan banyak
penelitian-penelitian yang membuktikan terselesaikannya permasalahan
kehidupan (psikologis) ketika solusi yang diberikan dikaitkan dengan
pemaknaan terhadap perilaku beragama. Ini semua membuktikan bahwa dalam
aspek aksiologi keberadaan psikologi Islam tidak dapat terbantahkan,
artinya mampu memberikan kontribusi atau kemanfaatan yang besar bagi
umat manusia melalui aplikasi praktis keilmuannya.
- E. Penutup
Psikologi Islam ibarat rumah yang
berasitektur paling profesional dengan miniatur sebuah istana kokoh yang
dapat menampung banyak orang, dengan bermodalkan bahan-bahan pilihan
dan berkualitas tinggi. Namun hingga saat ini bangunan itu masih belum
bisa berdiri dengan baik, bahkan para mandor masih sibuk berwacana
tentang pondasi (epistimologi dan metodologinya). Hal ini disebabkan
rasio antara mandor (ilmuwan + tukang kritik) dan tukangnya (ilmuwan
konstruktif) lebih banyak mandornya.
Perlu disadari bahwa perjuangan psikologi
Islam di Indonesia tidak semudah yang dicita-citakan, sejumlah
problematika baik pada tataran teoritik, aplikatif maupun kelembagaannya
masih banyak, sehingga membutuhkan energi lebih besar untuk membangun
dan mengembangkannya menjadi sebuah mainstream baru dalam perkembangan
keilmuan psikologi. Ilmuan ini tidak dapat berdiri kokoh ketika para
elemen tidak menyatukan suara, tekad dan segenap daya yang dimiliki.
Namun sebuah perjuangan menuju citi-cita yang mulia akan dapat tercapai
manakala ada kontinuitas dan konsistensi dalam arah perjuangan. Selamat datang Psikologi Islam…….
About these ads